top of page

LAW REVIEW

Penerapan Audit Forensik Sebagai Upaya  dalam Mengungkap Tindak Pidana Korupsi dan Pengembalian Kerugian Negara dalam Perspektif Hukum Pidana Indonesia

 

Oleh:

 

Narendra Aryo Bramastyo

Markus Harfian Bagus A

 

Semangat Penegakan Hukum Pidana di Indonesia semakin berkembang ketika  maraknya praktek-praktek fraud atau kecurangan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat tetapi juga terjadi pada pemerintahan di tingkat daerah bahkan tingkat  terendah suatu administrasi pemerintahan yaitu pemerintahan desa. Fraud dalam bahasa awam kita kenal sebagai korupsi yang sampai saat ini telah telah mendapatkan perhatian serius dari masyarakat dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan disahkannya Konvensi  Internasional tentang pencegahan tindak pidana korupsi atau UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption) pada tahun 2003 oleh sebagian besar negara anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Indonesia merupakan salah satu negara yang turut serta meratifkasi konvensi tersebut dan mengesahkannya lewat Undang-Undang nomor 7 tahun 2006. Jauh sebelum disahkannya undang-undang tersebut Indonesia juga telah mengesahkan beberapa peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi Korupsi atau dalam bahasa Latin disebut Corruptio-corruptus Inggris disebut Corruption, sedangkan dalam bahasa Sansekerta yang tertuang dalam naskah kuno Negara Kertagama arti harfiah corrupt menunjukan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan[1] Korupsi di dalam Black’s Law Dictionary adalah “suatu perbuatan yang harus dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak, secara salah menggunakan jabatan atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau oranglain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain”[2].

 

Secara Yuridis pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya diatur dalam 30 pasal dan telah dirumuskan didalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbuatan korupsi tidak hanya meliputi pada perbuatan yang memenuhi unsur-unsur delik yang menimbulkan kerugian pada perekonomian negara, tetapi juga tindakan menyimpang yang merugikan masyarakat seperti Penyuapan (Bribery), Komisi (Commision), Penyalahgunaan wewenang (Abuse of Disrection), Nepotisme (Nepotisme), Bisnis orang dalam (Insider Trading), Sumbangan Ilegal (Ilegal Contribution).

 

Korupsi memiliki dampak yang luas dan signifikan pada perekonomian suatu negara. Sebagai contoh tercatat selama tahun 2001 hingga 2012 Indonesia menderita kerugian sebesar  Rp 153.000.000.000.000 (seratus lima puluh tiga triliyun rupiah)[3]. Karena menimbulkan dampak yang signifikan yaitu dapat menimbulkan kerugian pada perekonomian negara dan sangat merugikan masyarakat maka para ilmuwan hukum menyebut korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Itu artinya korupsi harus mendapatkan perhatian yang serius dalam penanganannya, dimulai dari perbaikan sistem hukum yang melibatkan tiga subsistemnya yaitu aparat penegak hukum, budaya masyarakat, dan peraturan perundang-undangan. Tidak terbatas hanya pada subsistem yang bekerja secara umum tetapi juga pada pelaksanaan secara teknis dan upaya-upaya untuk mencegah dan mengungkap praktek-praktek korupsi yang terjadi di dalam pemerintahan.

 

Peran pemberantasan korupsi tentu tidak lepas dari kejelian para penegak hukum dalam menerapkan dan mengimplementasikan pembuktian yang didasarkan pada ketentuna peraturan perundang-undangan dan argumentasi hukum yang tepat. tetapi tidak jarang penegak hukum juga menemukan suatu hambatan dimana Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana saja tidak cukup sebagai payung hukum karena bersifat umum dan bukan merupakan produk hukum baru yang dapat mengatasi problem hukum yang relatif bersifat baru karena modus korupsi saat ini berkembang seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi.

 

 Tidak hanya cukup dengan merekayasa anggran negara tetapi para koruptor juga mengaburkan asal-usul harta hasil korupsi tersebut kedalam suatu jaringan perbankan sehingga penyidik mengalami kesulitan dalam mengungkap dan menemukan barang bukti. Disinilah peran penyidik yang hanya menguasai ilmu penyidikan dan hukum mencapai batasnya. Diperlukan krodinasi antara penyidik dan tenaga ahli dibidangnya dalam mengungkap suatu tindak pidana. Hal tersebut sangat dimungkinkan ketika Penyidik bermaksud untuk mengumpulkan bukti yang cukup guna melngkapi berkas perkara. Sebagai contoh ketika pejabat pemerintahan diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan melakukan kecurangan pada anggaran negara maka penyidik yang ingin memperoleh bukti  berwenang melakukan kordinasi dengan instansi terkait guna menindaklanjuti pelaporan tersebut, instansi tersebut dapat berasal dari pengawas interen maupun dari lembaga pengawas keuangan guna melakukan auditing. Kemudian hasil auditing tersebut dapat dijadikan petunjuk untuk melengkapi berkas perkara. Tetapi yang menjadi permasalahan saat ini adalah dapatkah hasil auditing tersebut menjadi alat bukti yang cukup kuat dalam persidangan untuk menjerat pelaku korupsi.

 

Audit yang digunakan dalam mengungkap tindak pidana korupsi tersebut tentunya berbeda dengan audit biasa yang digunakan para auditor keuangan biasa. Audit yang digunakan tersebut adalah audit yang bersifat investigatif dimana audit tersebut menggabungkan antara kemampuan ilmu audit yang terdapat dalam ilmu ekonomi dengan peraturan perundang-undangan sehingga dapat bertahan selama proses pengadilan atau proses peninjauan judisial atau administratif. Audit tersebut juga ditujukan dalam mengungkap potensi tindak pidana.

 

Perkembangan audit forensik memang sedikit terlambat apabila dibandingkan dengan ilmu akutansi lain seperti audit tradisional dan audit internal. Di Amerika, ilmu ini sudah ada sejak kasus Al Capone terungkap pada tahun 1931 silam oleh seorang akuntan, Frank J.Wilson. setelah itu ilmu audit forensik banyak digunakan oleh lembaga negara maupun lembaga keuangan swasta di Amerika untuk mendeteksi adanya fraud yang berujung pada adanya praktek korupsi. Namun, organisasi profesinya baru terbentuk beberapa dekade sejak metode tersebut pertama kali ditemukan. Association of certified Fraud Examiners baru terbentuk pada 1988 dan American College of Forensic Examiners juga baru berdiri pada 1992. Di Indonesia Audit Forensik mulai digunakan sejak terungkapnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 2001 yang melibatkan Samandikun Hartono dan Kaharudin Ongko.

 

Pada prosenya audit forensik yang digunakan untuk mendeteksi perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana melibatkan kordinasi penyidik, penuntut umum serta tenaga ahli dalam bidang auditing. Istilah audit yang bersifat investigatif tersebut lebih dikenal sebagai audit forensik dimana audit tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan negara seperti Badan Pengawas Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tetapi yang menjadi permasalahan adalah bagaimana hasil auditing yang menjadi laporan hasil investigatif tersebut dapat bertahan dalam argumentasi hukum di dalam persidangan. dan apakah hasil audit tersebut d secara efektif dapat membuktikan kesalahan pada pelaku tindak pidana korupsi. Dan yang terpenting adalah pengembalian aset negara yang hilang karena perbuatan para koruptor yang menyalahgunakan uang negara untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.

 

 


 

[1] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm. 115

[2] Purjono,Peran Audit Forensik Dalam Pemberantasan Korupsi Di Lingkungan Instansi Pemerintah, 2011, hlm.1

[3]Data Penelitian dan Pelatihan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

bottom of page